Kamis, 14 Februari 2013

Legenda Mugen-Kane

Hanson Situmorang | 01.12 | 1 Comment so far
Sembilan abad yang lalu, para pendeta di Mugenyama, provinsi Totomi, menginginkan bel untuk kuil mereka, dan mereka meminta para wanita di daerah itu untuk membantu mereka, dengan cara menyumbangkan cermin perunggu yang sudah ditak terpakai milik mereka, untuk dileburkan dan dijadikan bel. Ketika itu ada seorang wanita muda, seorang istri dari petani yang tinggal disana, ia mempersembahkan cermin tuanya pada kuil tersebut. Tapi setelah itu ia menyesali persembahannya. Ia teringat akan apa yang ibunya katakan tentang cermin itu, dan teringat bahwa cermin itu juga pernah dimiliki oleh nenek dan uyutnya, ... ia ingat senyuman bahagia yang cermin itu pernah pantulkan. Tentu saja, waktu itu sebenarnya dia bisa saja menyumbangkan uang, tapi waktu itu ia tidak memiliki cukup uang untuk menebus cerminnya. Setiap kali ia berkunjung ke kuil itu, ia melihat cerminnya teronggok di halaman, dibalik pagar rendah, diantara banyak cermin lainnya yang tertumpuk disana. Ia mengenali cermin itu dari emblem pnis, bamboo, dan bunga plum yang waktu dulu, membuat mata-bayinya sangat senang ketika ibunya pertama kali menunjukkan cermin itu. Ia menunggu kesempatan untuk mencuri cermin itu dan menyembunyikannya, dan setelah itu ia akan menyayangi cermin itu selalu, tapi kesempatannya tidak pernah datang, dan ia menjadi sangat kecewa, hampir seperti ia sudah memberikan bagian dari hidupnya. Dulu ada perkataan, bahwa "cermin adalah jiwa dari wanita", dan ia takut bahwa perkataan itu adalah benar. Sayangnya, ia tidak berani membicarakan rasa sakitnya pada siapapun. Nah, tibalah waktunya cermin-cermin yang dikumpulkan untuk dilebur. Tapi aneh! Ada satu cermin diantara cermin-cermin itu yang tidak mau ikut meleleh, para pendeta terus mencoba untuk melelehkannya, tapi tak berhasil. Disimpulkanlah bahwa siapa pun yang memberikan cermin itu pastilah tidak ikhlas, dan jiwanya yang egois tertinggal pada cermin itu, sehingga cermin itu tak kunjung meleleh. Tentu saja, semua mendenger perihal ini, dan sang wanita muda tersebut menjadi sangat malu dan marah. Saking malunya, ia menenggelamkan diri, setelah meninggalkan pesan ini: "Setelah aku mati, cermin itu akan bisa melebur dengan yang lain. Tapi, bagi mereka yang dapat memecahkan bel tersebut dengan membunyikannya, harta yang melimpah akan diberikan oleh hantuku." Menurut kepercayaan Jepang waktu itu (dan mungkin, sampai sekarang), seseorang yang mati/bunuh diri dengan amarah, biasanya akan "menepati" janji terakhirnya. Dan setelah wanita itu mati, cermin itu melelehlah, dan bel itu akhirnya jadi dan tergantung di kuil. Tapi orang-orang terus ingat akan janji sang wanita tersebut, dan segera setelah bel tersebut tergantung di halaman kuil, mereka terus membunyikan bel itu. Siang dan malam mereka terus membunyikannya, tapi ternyata bel itu cukup kuat, dan hari-hari terus berlalu dengan bunyi tanpa henti dari bel tersebut, sampai para pendera muak dengan bunyi tersebut, dan membuangnya kebawah rawa. Rawa lumpur itu pun akhirnya menelan bel tersebut, menyisakan legenda Mugen-kane. Nah, di masyarakat Jepang, ada yang namanya Nazoraeru. Yang jika dimaknai, artinya "mensubstitusi", "atau mengganti dengan serupa.". Sebagai contoh, jika seseorang tidak dapat membaca 771 kitab, maka seseorang dapat membuat perpustakaan yang melingkar, lalu mengelilinginya, dan dengan tulus berharap bahwa semuanya sudah terbaca, lalu "pahala" yang sama akan diberikan seakan-akan orang itu sudah membaca 771 kitab tersebut. Apa hubungannya dengan legenda Mugen-Kane ini? Setelah bel tersebut menghilang di rawa, tentu saja premis legenda tersebut tidak dapat lagi dilakukan. Tapi orang yang ingin mencari kesempatan serupa dapat melakukan hal serupa dengan cara mengganti bel tersebut dengan benda yang lain, lalu memecahkannya seakan-akan itu adalah bel tersebut. Tersebutlah seseorang wanita bernama Umegae lewat di daerah tersebut, dan sedang sangat butuh uang. Ia pun ingat akan legenda itu, maka ia mengambil wadah cuci tangan perunggu, lalu membayangkan bahwa wadah tersebut adalah bel tersebut dan memecahkannya, dan dengan bersamaan, meneriakan keinginannya untuk mendapatkan 300 keping emas. Siapa disangka, ternyata suara tersebut menarik seorang dermawan, yang setelah mendengar cerita tersebut, memberikan Umagae 300 keping emas. Setelah itu, dengan kata-kata ini, legenda itu pun menjadi populer
Read more ...

Senin, 07 Januari 2013

Sejarah Kenapa Rok Sekolah Di Jepang Pendek Banget

Hanson Situmorang | 00.34 | Be the first to comment!
http://asalasah.blogspot.com/2012/11/sejarah-kenapa-rok-sekolah-di-jepang.html


Siswi-siswi Jepang memiliki seragam yang modis, unik dan seksi. Hampir semua siswi Jepang memakai seragam sekolah dengan rok mini yang berada jauh di atas lutut. Ada sebuah sumber yang menyebutkan, rata-rata rok siswi Jepang 16,7 Cm di atas lutut. Wowww!!! Tidak hanya itu, ada rumor yang menyebutkan, bahwa ada sekolah-sekolah tertentu yang mewajibkan siswa perempuannya untuk tidak memakai celana dalam.

Wah gak kebayang deh, udah rok sangat pendek, ditambah lagi gak memakai celana dalam. Hahaha….gemana kalau itu diterapkan di Indonesia?

Usut punya usut, dahulu seragam sekolah dijepang gak seperti sekarang ini sama seperti seragam sekolah yang sekarang ada di indonesia. Baju lengan pendek dengan rok pas lutut.

Lalu apa yang menyebabkan seragam sekolah siswa Jepang menjadi seperti sekarang ini? Zaman dahulu anak-anak putri Jepang mengenakan kimono ketika bersekolah yang tentu saja menyulitkan gerak gerik mereka ketika beraktifitas terutama berolahraga. Kemudian Ibu Elizabeth Lee teringat dengan model seragam yang dipakainya ketika belajar di Inggris, yaitu baju Sailor/Pelaut. Tahun 1918, Ibu Elizabeth meminta seorang penjahit di Oota Toyokichi untuk menjahitkan baju atasan seragam anak-anak putri. Tetapi Baju sailor itu ternyata robek ketika dipakai berolah raga, maka Ibu Elizabeth menyarankan agar dipasang resleting di bagian kiri/kanan baju dari arah ketiak.Tapi kelihatannya resleting ini tidak lazim dikenakan.

Kendala selanjutnya gerakan anak2 masih terhambat karena rok yang mereka pakai masih berbentuk lurus panjang. Ibu Elizabeth pun datang kembali ke penjahit dan menjelaskan agar dibuat rok yang memudahkan anak-anak bergerak. Penjahit mendapat ide membuat rok berlipit-lipit setelah melihat gorden yang tertiup angin tetapi setelah itu dan dapat kembali ke bentuk semula. Akhirnya dibuatlah rok lipit-lipit. Tapi lambat laun rok yang dipakai siswi-siswi Jepang semakin pendek.

Berikut ini adalah photo-photo siswi Jepang dengan seragam sekolah yang bisa membuat pria Indonesia jatuh karena kesandung. Gedubrak!!!

http://asalasah.blogspot.com/2012/11/sejarah-kenapa-rok-sekolah-di-jepang.html

http://asalasah.blogspot.com/2012/11/sejarah-kenapa-rok-sekolah-di-jepang.html

http://asalasah.blogspot.com/2012/11/sejarah-kenapa-rok-sekolah-di-jepang.html
Read more ...

10 KUNCI SUKSES ORANG JEPANG

Hanson Situmorang | 00.32 | Be the first to comment!


1. Kerja Keras

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun).
Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaanG yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.
2. Malu

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. Hidup Hemat

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.
4. Loyalitas

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.
5. Inovasi

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.
6. Pantang Menyerah

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia . Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki , disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo . Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen) . Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini
7. Budaya Baca

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.
8. Kerjasama Kelompok

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok” . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.
9. Mandiri

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.
10. Jaga Tradisi & Menghormati Orang Tua

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini.

Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan.

Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena “hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
bagaimana menurut anda............???

Read more ...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

About Me

J-Lovers , Otaku , Mayuyuroid , Nabilaholic. I'm gotta be the sweetest guy on the galaxy of milky way.